OLEH: ALBERT BAUNSELE
SAHABAT PENGGERAK LITERASI
Situasi natal di Flores Timur khususnya Hokeng amat menyentuh nurani. Pengalaman merayakan natal di tengah puing-puing akibat letusan gunung pada pukul 12 malam pada beberapa minggu lalu merupakan kontradiksi melawan arti natal itu sendiri. Perayaan natal merupakan ungkapan kegembiraan karena” Allah sumber pengharapan dunia” (Yeremia 14:22) menjadi nyata dalam diri Yesus Kristus, juru Selamat.
Christus natus est nobis, Kristus lahir untuk kita. Warta gembira, pesan damai, dan hukum cinta yang dibawa-Nya untuk dua millennia yang lalu belum juga berbuah melimpah seperti diharapkan. Betapa masih banyak “kisah natal” di Hokeng yang ada di tempat lain. Mobil dinas kejaksaan Kabupaten Timor tengah Selatan menabrak sepasang suami istri yang mengendarai sepeda motor dan meninggal dunia di Tempat Kejadian Perkara paling mirip karena situasi dan alasannya karena situasi tersebut menyisakkan kesedihan yang mendalam karena meninggalkan tiga orang anak mereka.
Sekian berat dan banyak derita yang harus ditanggung akibat situasi tersebut yang tak bisa dimengerti akal budi dan belum bisa diatasi kecanggihan tekhnologi.
Letusan gunung juga melanda daerah yang berada di sekitaran Hokeng dan masih banyak yang tak dapat penulis sebutkan disini.
Bencana ini langsung atau tidak langsung berkaitan dengan ulah manusia yang tidak merawat alam secara baik seperti melakukan penghijauan dengan menanam anakkan pohon berumur panjang.
Penderitaan dan kemalangan yang diakibatkan letusan gunung maupun ulah bengis sesama berakibat amat luas. Munculnya pengungsian yang menimbulkan pelbagai masalah: rutinitas kerja terganggu, penyakit merajalela, pendidikan terhenti seperti Sekolah-sekolah katolik di Hokeng ditutup secara permanen, dan lain-lain. Rusaknya pelbgai fasilitas juga menghambat perkembangan yang selama ini telah tercapai.
Itulah berita duka yang menyertai perayaan natal 2024, yang ada di sekitar kita. Namun masih ada banyak kisah sedih lain yang jarang terjamah media. Bisa karena lokasinya sulit terjangkau, bisa karena bobot beritanya tidak terlalu istimewa.
Peristiwa sehari-hari yang dialami pelbagai kelompok orang di pedalaman merupakan contoh penderitaan yang perlu direnungkan sehubungan dengan peristiwa natal.
Daerah pedalaman identik dengan situasi keterbelakangan, belum tersentuh kemudahan modern daerah perkotaan. Jaringan komunikasi, transportasi dan listrik masih jauh dari pedalaman.
Hidup di pedalaman dengan berladang berpindah adalah keseharian yang menandai keterbelakangan itu. Mereka bergantung pada air hujan atau air sungai.
Musim kering menjadi rawan air, bahkan dibeberapa daerah rawan pangan, karena transportasi air lumpuh. Sungai tercemar oleh penambang rakyat yang menggunakan merkuri. Itu semua harus menjadi konteks hidup mereka karena tidak mudah mencari alternatifnya.
Ada yang mengatakan masih sedikit lebih untung mereka yang hidup dari kebun kopi atau kebun kemiri. Mereka berpenghasilan tetap. Artinya, tetap kurang, tidak mencukupi untuk hidup yang pas-pasan.
“keuntungan itu sangat relative dan sementara”. Tanaman monokultur menurut sementara ahli, ternyata bisa merusak masa depan tanah secara fatal. Itu berarti masa depan anak cucu dipertaruhkan.
Pertimbangan keuntungan sesaat karena adanya proyek-proyek yang menaikkan pendapatan asli daerah perlu dikaji ulang. Tetapi, siapa berani menentang kebijakan pemerintah? Karena itu, ada yang berpendapat, tanaman kopi ditinjau dari segi keuntungan jangka panjang bisa lebih prospektif.
Seandainya Yesus lahir di kebun kopi atau di kebun jagung ( di Nusa Tenggara Timur misalnya ), apa kira-kira warta natal yang akan diterima? Barangkali itu pertanyaan spekulatif saja. Kisah natal merupakan kisah yang amat menyentuh rakyat kecil, orang tak berdaya.
Kelahiran Yesus yang diwartakan kepada gembala oleh malaikat utusan bukan sekadar kisah romantis-spiritualis tetapi benar-benar warta kegembiraan, pembebasan, dari rasa takut rakyat sederhana, orang tak berdaya pada zamannya. “jangan takut, sebab sesungguhnya aku memberikan kesukaan besar untuk seluruh bangsa: hari ini lahir bagimu juruselamat, yaitu Kristus Tuhan…” (Luk 2:1-11).
PERJUANGAN hidup Yesus bagi orang kecil dan tak berdaya serta ketakutan bisa menimbulkan inspirasi: apa yang harus diperjuangkan bagi mereka yang masih hidup dibawah garis kemiskinan di pedalaman: peladang berpindah,pekerja kebun jagung, petani kopi dan lainnya. Renungan natal kita dapat diarahkan untuk pembebasan dari segala ketakutan di sekitar kita.
Ketakutan yang diakibatkan oleh pelbagai bencana, baik dari letusan gunung berapi maupun ketidakadilan sesamanya, tidak seharusnya menjadikan semua orang berkehendak baik hilang nyali dan putus asa untuk mengatasinya.
Umat kristiani dan orang yang percaya pada Tuhan berani menegaskan, meski rumah dihancurkan letusan gunung berapi, batin harus tetap siap dan tegar untuk memaknai kelahiran Kristus Sang Penyelamat.
Demikian tampaklah kebenaran ungkapan nabi yesaya,Allah, Sumber Pengharapan dunia, dalam sikap batin saudara-saudara kita yang baru tertimpa musibah letusan gunung berapi. Hendaknya tidak menjadikan umat kristiani putus asa, sebaliknya tetap menjalin hubungan dengan sesama dalam damai sejahtera sebagaimana tema natal tahun ini MARILAH SEKARANG KITA PERGI KE BETLEHEM.
Titik-titik harapan itu kian membesar dalam pelbagai peristiwa di sekitar kita. Penetapan tersangka sejumlah pelaku korupsi , pemberantasan korupsi, gebrakan baru yang ditunjukkan pemerintahan Prabowo-Gibran merupakan tanda yang memberi harapan.
Meski masih menyisakkan sejumlah pertanyaan, akankah semua kekerasan dan korupsi bisa dituntaskan, namun kita yakin aneka usaha itu tidak akan sia-sia.
Dengan demikian, hendaknya ketakutan yang tak beralasan bisa disingkirkan. Karena, sebenarnya warta natal merupakan warta gembira untuk orang tak berdaya di sekitar kita.
SALAM DAMAI NATAL UNTUK KITA SEKALIAN.