Pahi Matua

oleh -103 Dilihat
oleh

“Pahi Matua” merupakan semboyan yang akrab dalam kehidupan orang Timor berbahasa Dawan. Secara formal semboyan itu dapat diterjemahkan sebagai “Bumi Berpenduduk”. Artinya ada penghuni (manusia) di bumi ini. Atau lebih sederhana dan bebas, semboyan itu dapat diterjemahkan sebagai “Kami Ada”. Pahi Matua biasanya di ucapkan atau diteriakan pada saat terjadinya gempa bumi.Pada momen itu, kepala keluarga atau salah seorang laki-laki dari setiap rumah atau keluarga akan berteriak “Pahi Matua atau Kami Ada”. Teriakan itu berkaitan dengan kepercayaan bahwa gempa bumi terjadi karena pemilik dunia (Pencipta) ingin memastikan apakah manusia ciptaannya masih hidup atau telah mengalami kematian.

Keingintahuan tersebut diungkapkan pencipta dengan cara menggoyang bumi (gempa). Sehingga teriakan Pahi Matua merupakan jawaban manusia kepada Pencipta dengan mengatakan “kami ada”.
Pahi matua itu teriakan harmoni dan rekonsiliasi. Sebab meski berciri personal, namun mewakili kepentingan banyak orang dan tatanan dunia. Hal itu terlihat jelas dalam ucapan Pahi Matua/kami ada dan bukan saya ada. Sehingga pahi matua merupakan teriakan cinta kehidupan, rukun kekeluargaan dan bakti ekologis. Akan tetapi, karena dipekikan pada saat terjadinya gempa maka sebagian kalangan menilainya sebagai kepanikan dan keributan. Suatu disposisi diri yang kurang tenang dan gegabah menghadapi bencana. Akhirnya “Pahi matua” dipandang sebagai jeritan kekalahan dan matinya rasio.
Marginalisasi Penderitaan
Prasangka itu kembali terulang. Kali ini terjadi dalam diri para korban penderita covid 19. Para korban diklasifikasi dalam dua kategori. Pertama, Direct victims. Yaitu sekelompok orang yang mengalami secara langsung penderitaan yang diakibatkan oleh wabah ini. Orang-orang tersebut adalah mereka yang mengalami sakit fisik dan bahkan kematian. Menanggapi seriusnya akibat ini, maka Pemerintah memutuskan untuk menerapkan aturan seperti Social Distancing dan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Konsekuensi dari kebijakan diatas adalah munculnya korban dalam kategori yang kedua yaitu, indirect victims.

Mereka adalah sekelompok orang lainnya yang tidak mampu beradaptasi dengan kebijakan Pemerintah. Akibatnya mereka mengalami penderitaan berupa kehilangan pekerjaan, kelaparan, kehilangan kesempatan mengenyam pendidikan dan terpisah dari keluarga. Dalam situasi itu, mereka tak mampu berbuat banyak, selain mengharapkan bantuan sesama.
Tanggapan publik atas klasifikasi para korban ialah; hanya menganggap direct victims sebagai korban pandemic.

Sementara indirect victims dilihat sebagai kelompok pembangkang. Reaksi sosial ini muncul karena menganggap indirect victims tidak patuh terhadap kebijakan Pemerintah. Mereka lebih memilih pulang ke kampung halaman atau bekerja diluar rumah padahal sudah dilarang.

Berdasarkan tindakan itu, publik menilai mereka sebagai kaum barbar.
Bertolak dari penilaian itu, pertanyaan yang patut diajukan untuk memahami akar persoalannya ialah; Mengapa mereka berlaku demikian? Dapatkah penderitaan dikuantifisir pada skala berat dan ringannya? Lalu apa kriterianya, apakah sebatas ancaman, luka ataukah nyawa taruhannya? Pertanyaan ini menarik ditanggapi untuk sekedar memberi rasa keadilan kepada para korban terutama indirect victims.

Aspek Personal Penderitaan

Menanggapi pertanyaan diatas, kita mengutip pemikiran Soren Kierkegaard terutama tentang “kebenaran subjektif”. Ia mengatakan “ Cara refleksi objektif pada akhirnya membawa pikiran menjauh dari subjek, dan akhirnya subjektifitas menjadi sesuatu yang lepas bebas terhadap eksistensi”(E.Garot, 2017). Dalam konteks pembahasan ini, pemikiran Kierkegaard dapat kita rumuskan demikian; Apabila penderitaan para korban dilihat secara umum maka dengan sendirinya akan mengabaikan keberadaan pribadi yang menderita.

Aspek personal yang dimaksudkan adalah subjek riil sebagai manusia kongkret (yang menderita). Sehingga walaupun berada dalam situasi yang sama, subjek akan tetap memaknai hidupnya secara personal berdasarkan keterarahan dan pengalaman pribadinya (Thomas H. Tjaya, 2018). Kenyataan ini menunjukan bahwa esensi terdalam manusia sebagai makhluk personal adalah pengalaman pribadinya. Pengertian ini secara tepat bisa dibandingkan dengan penanganan medis untuk para direct victims covid 19. Meski penderitaannya sama, tetapi para pasien akan diperiksa secara personal menurut keadaan tubuhnya, lalu diberi pengobatan menurut keadaan tubuh masing-masing pribadi. Inilah ciri pelayanan kemanusiaan yang sejati. Sebab rasa sakit personal ditempatkan sebagai locus pengobatan. Suatu pelayanan yang menyentuh dimensi eksistensial subjek terutama pada pengalaman dan rasa sakitnya.
Contoh medical treatment diatas kirannya memberi gambaran tertentu, tentang mengapa indirect victims bertindak melawan kebijakan Pemerintah. Tentu bukan soal pembangkangan. Sebab ketidaktaatan mereka menyiratkan bahwa, pelayanan sosial kepada para korban yang menderita (indirect victims) belum menyentuh aspek personal. Oleh karena itu, secara tidak langsung mereka menuntut pelayanan yang adil. Yaitu suatu pelayanan yang harus mereka terima dalam semangat kedaruratan dan langsung menyentuh kebutuhan pribadi. Sebab persoalan yang mereka alami berkaitan erat dengan rasa lapar, tagihan, tunggakan serta tanggungjawab mereka terhadap keluarga. Suatu kemendesakan hidup yang tidak bisa ditunda-tunda.

Membangun pola pikir subjektif
Cercaan bahkan kutukan bagi para indirect victims karena dianggap barbar, merupakan gambaran intoleransi serta kegagalan memahami dimensi personal penderitaan. Kegagalan itu terlihat melalui lambannya penanganan terhadap para indirect victims. Entah karena birokrasi yang berbelit, perilaku korup atau bahkan karena ketegaran hati manusia. Sementara itu, tuntutan hidup terus mendesak, rasa lapar tak dapat ditukar dengan janji dan tanggungjawab terhadap keluarga tidak dapat dipenuhi hanya dengan pengharapan. Maka menghadapi tuntutan kebertubuhan itu, subjek bertindak seturut apa yang dialaminya. Meskipun tindakan tersebut nantinya dinilai keliru. Sebab apa yang dipandang sebagai kebutuhan akan diprioritaskan melebihi isu mengenai kebenaran objektif.
Menjadi jelas bahwa yang mereka butuhkan adalah penanganan kongkret. Suatu ungkapan yang memberi perhatian dan pelayanan yang tanggap serta sigap. Tentu kebutuhan kongkret yang dimaksudkan tidak dipahami menurut pengertian subjektivisme. Yakni berkaitan dengan perasaan dan interese masing-masing pribadi. Sebab pengertian subjektivisme akan berujung pada relativisme (Peter Vardy, 2001). Masing-masing menurut keinginan pribadinya. Tentu hal semacam ini tidak dapat dipenuhi. Sebaliknya kebutuhan subjektif yang mereka perlukan adalah immediate action. Suatu tindakan nyata yang tanggap terhadap kebutuhan yang mendesak. Tindakan yang dilakukan tanpa banyak berspekulasi dengan rencana yang muluk-muluk.

Sistem pelayanan yang kurang menyentuh kebutuhan dasar hanya akan menghantar indirect victims pada ketidaktaatan. Mereka akan memberontak melawan kebijakan Pemerintah, protes terhadap kualitas bantuan yang diterima serta cemas terhadap jaminan hidup. Ketidakpastian ini nyata dan dialami secara personal oleh para penderita.

Spiral Praksis
Immediate actions sebagai bentuk pelayanan yang tanggap dan memberi rasa keadilan terhadap indirect victims, dapat menjadi pola pelayanan yang akurat. Sebab immediate actions teraktualisasi dengan pengandaian ada korban yang menderita, terluka dan lapar. Pengandaian kedaruratan inilah yang akan mendorong orang untuk melayani secara sigap dan tanggap. Apabila pada direct victims wujud penderitaan itu berupa luka dan sakit, maka pada indirect victims wujud itu ada dalam bentuk lapar dan haus. Wujud penderitaannya memang berbeda tetapi esensinya sama yaitu mengancam eksistensi individu. Kenyataan ini terjadi dan dialami secara nyata oleh para penderita. Berhadapan dengan tuntutan ini, pertolongan yang diberikan harus dibalut dengan semangat kedaruratan. Yaitu aksi cepat dan nyata.
Aksi cepat dan nyata, oleh sebagian kalangan akan dinilai sebagai ketergesahan. Akan tetapi situasi yang dihadapi esensinya adalah bencana yang menyebabkan penderitaan. Oleh karena itu immediate actions merupakan pertolongan pertama yang dapat menjawabi persoalan. Sebagai pertolongan pertama tentu akan ada kekurangan dan keterbatasan. Kekurangan itulah yang harus dibenahi pada pertolongan berikutnya. Dengan demikian immediate actions dapat menjadi metode pelayanan yang dapat diunggulkan. Pertama karena kebutuhan kongkret para korban dipenuhi. Kedua, metode pelayanan ini dianggap sebagai bentuk pertolongan pertama yang harus dievaluasi pada pelayanan berikutnya. Sehingga akan menjadi aksi yang direfleksikan pembahuruannya untuk aksi berikutnya. Hal ini sejalan dengan metode pendidikan yang diterapkan Paolo Freire dalam spiral praksis. Yakni aksi-refleksi-aksi (Mudji Sutrisno, 1995). Suatu metode yang terus dievaluasi menuju kesempurnaan.

Keadilan Sosial
Sampai pada penjelasan ini, perlu diakui bahwa terdapat ketidakadilan sosial dalam menangani para korban pandemic covid-19, terutama indirect victims. Uluran pelayanan yang diberikan masih sebatas bantuan sosial dan belum mencapai taraf keadilan sosial. Keadilan sosial sebagaimana dimaksudkan tentu bukan suatu privilese perorangan, melainkan immediate actions. Pelayanan berkeadilan dapat diberikan melalui kemasan bantuan sosial. Asalkan disalurkan dalam ungkapan immediate actions. Sebab berkaitan dengan kebutuhan eksistensial mereka yakni lapar dan haus.
Sebagai manusia tentu pengalaman eksistensial kita berbeda. Akan tetapi dirasakan dan dialami secara nyata. Apa yang dialami dan ditunjukan oleh indirect victims merupakan kenyataan personal mereka. Suatu pengalaman individu yang tidak dapat dinalar secara objektif. Melainkan hanya bisa dimengerti lewat sikap berbelarasa dan dalam toleransi. Oleh karena itu, apabila terdapat sesuatu untuk diberikan, bagikanlah. Tetapi bila tidak, cukuplah dengan tidak menghakimi dan menilai mereka sebagai barbar.

Kami (juga) Ada Sebagaimana “Pahi Matua” dipekikan sebagai ungkapan cinta kehidupan, rukun persaudaraan dan bakti ekologis. Maka sikap (ketidaktaatan) indirect victims juga dipandang dalam kerangka makna yang sama. Kami (juga) ada. Artinya, apabila pahi matua disalah artikan sebagai kepanikan dan keributan. Padahal pahi matua merupakan seruan harmoni dan rekonsiliasi, maka pembangkangan indirect victims pun berada dalam posisi yang sama. Ketidaktaatan mereka dilihat sebagai pembangkangan, walaupun kenyataanya mereka sedang merawat hidup dan tatanan sosial. Kami (juga) ada.
Para pelaku yang menyuarakan pahi matua meski dipadang negatif, mereka telah menyumbangkan tatanan harmonis dan bakti ekologis. Sebab dalam kepercayaan dan mitologi pahi matua apabila tidak di pekikan maka gempa bumi yang hebat akan menghacurkan tatanan alam. Sehingga pekikan pahi matua meski dinilai negatif, telah menghadirkan harmoni dan bakti ekologis.
Pembangkangan indirect victims pun walau dinilai negatif, mereka sedang merawat kehidupan dan tatanan sosial. Mereka sedang bertanggungjawab terhadap kehidupan keluarga, masa depan anak-anak serta jaminan kesehatan para orang tua. Dalam cakupan yang lebih luas, secara tertentu tanpa pemberontakan mereka, kemiskinan di NTT bakal turun ke titik nadir (Kompas/28/5/2020). Maka suka tidak suka mereka adalah motor penggerak ekonomi di masa pandemic ini. Sehingga “kami (juga) ada”, tidak melulu ada dalam arti yang negatif. Sebab mereka sedang merawat kehidupan dan tatanan sosial.
Mari kita dukung perjuangan mereka dengan standar kesehatan yang baik. Sebab mereka pun mencintai kehidupan mereka sama seperti kita mencintai kehidupan kita. Hanya saja tuntutan hidup memaksa mereka untuk berjuang demi hidup. ***