Oleh : Thomas E. Kabu
______________________________
Pada zaman dahulu di kerajaan Amanatun tepatnya di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), berkuasalah seorang raja yang bernama Usif Banmeni. Usif Banmeni mempunyai banyak sapi, kuda dan kambing. Diantara sekian banyak ternak, terdapat dua orang gembala yang bernama Neno dan Fai. Tugas khusus Neno dan Fai adalah menggembalakan kambing-kambing milik Usif Banmeni tersebut.
Pada suatu hari, beberapa ekor kambing yang digembalakan oleh Neno dan Fai hilang. Neno dan Fai masuk hutan keluar hutan mencari kambing-kambing itu. Lalu mereka tiba pada sebuah sungai yang bernama sungai Tumut (Noe Tumut).
Sungai (Noe) tersebut merupakan batas alam antara Desa Lilo, Kecamatan Amanatun Utara dengan Desa Oeleu, Kecamatan Toianas. Setelah menyeberangi sungai itu, turunlah hujan yang amat deras. Kilat dan halilintar sambung-menyambung seakan-akan membelah bumi. Mereka mulai merasa dingin, lapar dan ketakutan.
Didalam kegelapan senja itu nampaklah sebuah rumah bulat (Ume Kbubu). Rumah bulat (Ume Kbubu) pada budaya orang timor ini, berbentuk kerucut dengan pintu tunggal. Dengan keberadaan Ume Kbubu tersebut maka cepat-cepat Neno dan Fai berlari menuju ke situ untuk berteduh. Seketika terasa bulu kuduk mereka merinding, mereka teringat akan dongeng yang sering mereka dengar tentang (Be Lana). Be Lana adalah nenek jin yang jahat dan suka memangsa manusia. Kemudian sementara mereka berpikir, nenek tersebut telah melihat dan meyapa Neno dan Fai dengan lembut, wajah nenek tua itu kelihatan gembira dan tersenyum. Tidak terlihat penampakan yang menyeramkan seperti gambaran wajah nenek Be Lana yang bengis dan buru. Nenek itu mempersilahkan Neno dan Fai masuk, kemudian nenek itu bertanya: “cucu mau kemana?” Neno dan Fai menjawab “kami sedang mencari kambing-kambing Usif Banmeni yang hilang”, lalu keduanya masuk dan berlindung dalam Ume Kbubu tersebut. Nenek itu kemudian menanyakan rupa-rupa hal pada Neno dan Fai. Sementara mereka bercakap cakap rasa kantuk keduanya tak tertahankan. Padahal nenek itu adalah nenek jin Be Lana yang selama ini didengar oleh mereka dalam cerita dongeng. Ketika nenek tua itu melihat Neno dan Fai sudah tidur pulas, Nenek jin (Be Lana) segera menutup pintu rumah bulat (Ume Kbubu) tersebut. Pandangan Neno dan Fai telah di kelabui sehingga nenek jin (Be Lana) kelihatan ramah dan gua batu yang dimasuki dikira sebuah rumah bulat.
Selang beberapa saat, Neno dan Fai terbangun. Mereka terkejut dengan mimpi yang sama agar segera meloloskan diri dari bencana yang sedang menimpa. Mereka sangat terkejut dan ketakutan karena rumah kecil yang mereka masuki itu ternyata sebuah gua batu yang suasananya mengerikan dan menakutkan. Nenek yang penuh dengan sunyuman juga tidak ada lagi. Keduanya kemudian berusaha merangkak keluar tetapi pintu gua sudah tertutup perlahan-lahan. Keduanya terlambat karena dengan susah payah merangkak mencapai pintu gua, ternyata pintu batu itu sudah tertutup rapat. yang ada hanya sebuah lubang kecil.
Keduanya mulai sadar bahwa mereka telah terjebak oleh nenek Be Lana. Lalu mereka berteriak histeris dan menangis sekeras-sekerasnya, namun usaha mereka sia-sia. Tangan mereka dikeluarkan dari lubang itu untuk meminta tolong. Namun pertolongan yang diharapkan tak kunjung tiba. Akhirnya mereka kehabisan tenaga, teriakan dan tangisan mereka semakin melemah. Sementara itu, di sonaf atau istana Usif Banmeni terjadi kepanikan karena kedua anak penggembala kambing tak kunjung pulang. Lalu Usif Banmeni memerintahkan Rakyat untuk mencari Neno dan Fai. Setelah bertanya kesana-kemari, tak seorangpun mengetahui dimana Neno dan Fai berada. Rakyat lalu memutuskan untuk menyusuri sungai tumut, karena mungkin kedua anak itu telah terbawa banjir semalam. Setibanya didekat gua batu itu, mereka lalu mendengar teriakan yang sayup-sayup. Mereka lalu berkerumun gua dan berusaha menolong kedua anak malang itu.
Temuan ini kemudian dilaporkan kepada Usif Banmeni. Usif Banmeni memerintahkan seluruh rakyatnya. Mereka masing-masing membawa peralatan untuk membelah batu itu. Tetapi batu ternyata terlalu keras. Usaha itu sia-sia, sementara itu suara kedua anak itu melemah dan akhirnya berhenti. Keduanya telah mati lemas.
Setelah bermusyawarah sebentar, tangan-tangan Neno dan Fai dipotong sebagai barang bukti. Kemudian dengan upacara adat, tangan-tangan dari Neno dan Fai dikuburkan disamping gua batu itu. Kubur itu berbentuk bulat dan bekas-bekasnya masih dilihat sampai saat ini.
Mulai saat itu, gua batu tersebut dalam bahasa orang timor yaitu bahasa dawan disebut “Fatu ol atoni” artinya batu penelan manusia. Lama-kelamaan batu itu disingkat menjadi Fatu Atoni atau batu manusia.
Kini Neno dan Fai tinggal kenangan. Tapi fatu atoni adalah saksi bisu yang masih tetap berdiri. Saksi dari suatu kerja keras yang tidak mengenal lela. Saksi dari suatu perjuangan yang penuh rasa tanggung jawab dari dua pemuda desa yang miskin, yaitu Neno dan Fai.
(Keffy)